Gerimis di atas kertas: ketika kita perlu untuk berhenti sejenak.

Buku ini saya pesan, langsung ke penulisnya. Saya memanggilnya Bang Ical. Salah satu alasan mengapa saya memesannya karena saya sudah terlanjur terpikat dengan gaya tulisan di blognya. Betapa tidak, saat ia menceritakan hal santai, saya akan tertawa. Saat ia menuliskan hal serius, maka kening saya akan mengernyit dan manggut-manggut. Cukup jarang menemukan penulis blog yang menuliskan konten santai sekaligus berat dengan begitu apik.

Berbicara mengenai gerimis di atas kertas, buku ini menuliskan mengenai empat kisah yang terjadi di Pulau Lombok. Gaya tulisan dan tuturnya mengambil sudut pandang yang berbeda dan Ia lihai menuliskannya. Beliau adalah penulis asli Lombok kedua yang karyanya saya baca, setelah mas Abdul fatah, penulis Travelicious Lombok.

Dalam blog kali ini. Saya akan bercerita mengenai kisah Sastri dan Bayu. Saya jatuh cinta akan keduanya dalam bab terakhir: Cakwe kota tua.

Adalah Sastri, wanita muda yang tidak cukup beruntung. Ia berjuang berjualan cakwe dengan gerobak kecilnya di pinggiran Pantai Ampenan agar adiknya bisa lanjut sekolah. Berjumpa dengan Bayu, laki-laki berambut gimbal, mantan jurnalis yang sudah malang melintang menjelajahi Indonesia.

Hal yang menarik dari cerita ini adalah cara tutur penulis sebagai orang kedua yang nyatanya menjadi orang ketiga. Sejak awal membaca, Saya berfikir, kata “Kamu” yang selalu penulis gunakan untuk menceritakan Bayu akan membuka dirinya sebagai sastri. Hingga akhir, ternyata tebakan saya meleset.

Di sisi lain, melihat penulis menceritakan histori ampenan hingga menyadur tulisan ilmuwan naturalis berkebangsaan inggris, Alfred Wallace, menunjukkan Ia telah mengumpulkan cukup banyak referensi dalam tulisannya ini. Ia sempat berseloroh bisa jadi Pak Alfred ini mengunjungi Lombok saat musim yang salah. Saat alam tidak enak badan. Begitu katanya karena gambaran Pak Wallace tentang pantai ampenan begitu menyeramkan dalam The Malay Archipelago.

Dalam cerita pendek Cakwe kota tua, pembaca tidak hanya diajak berkeliling Ampenan, kota pelabuhan masa lampau. Namun kita diajak untuk menyusuri kompleks ACC, pusat perbelanjaan yang terkenal pada masanya, melewati klenteng, berjalan di pinggiran pantai, menyesapi harum ikan bakar di sepanjang jalan, menyicipi kopi buatan parid dan bahkan belajar membuat cakwe beserta resep lengkapnya. Proses pembuatan kue yang detail ini mengingatkan saya akan tulisan terkenal Dee lestari yang berjudul Madre.

Andai saja cakwenya sastri ini beneran ada, tentunya akan saya adu dengan cakwe langganan saya di selagalas. Saat saya menanyakan penulis terkait benar tidaknya cakwe sastri ini, Ia mengirimkan emotikon tertawa. Ia mengabarkan saya adalah orang ke-14 yang menanyakan hal yang sama. Bahkan menurut penulis, 6 dari penanya tersebut bahkan mencari cakwe itu di pantai ampenan. Pembaca tertipu rupanya.

Saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca. Bukan saja karena latarnya Pulau Lombok, tempat yang anti mainstream diangkat menjadi cerita, namun juga tentang semangat masa muda, kisah cinta masa kecil dan semangat literasi.

————

Ada hal yang sangat mengganggu saya di kisah Cakwe Kota Tua. Yang mendorong saya menuliskan review. Yaitu sekelumit sosok Bayu yang diceritakan hampir mirip dengan diri saya. Sialnya saat paragraf Sastri menanyakan ke Bayu mengenai alasannnya ia berhenti menjadi jurnalis, pada saat yang sama, handphone saya sedang memutar instrumental Canon in D minor, Pachelbel. Tiba-tiba hati saya sendu.  Perih.

Kisahnya tertulis di halaman 190.

Sastri bertanya ” Kenapa berhenti jadi jurnalis? ”

Hening.

Kamu tidak bisa menjawabnya. Tepatnya, kamu sendiri belum yakin dengan alasanmu sendiri-yang sering kamu koar-koarkan waktu ada yang bertanya.

Kamu tidak tahu perasaan yang melandamu ini namanya apa; tapi seperti kata sastri, kamu memang merasakan perasaan seru yang meluap-luap selama belasan tahun menjadi jurnalis namun mendadak saja sebuah kosong menyergapmu. Kamu merasa hampa, dan tidak melihat akhir dari semua keseruan itu. Sebuah perasaan yang tidak pernah kamu kenali sebelumnya: yang membuatmu tersadar, berkelana mengelilingi bumi akan menjadi perjalanan yang tidak berkesudahan karena bumi memang tidak menyediakan ujung, agar perjalanan itu bisa berhenti.

Semua keseruan mendadak menguap tanpa alasan. Suatu pagi kamu terbangun dengan muak melihat tangan dan kakimu yang selama ini selalu berburu, tanpa pernah beristirahat. Kamu memang merdeka dalam kerja karena tujuanmu bukan uang secara an sich, tapi ada penjara jiwa yang lebih merepotkan ketimbang uang: ia adalah hasratmu.

…. titik yang paling celaka adalah kamu tidak begitu merasa sedih dan kehilangan atas kematian (keluarga). Sangat mengerikan. Sungguh gila.

…. Kamu ingin berhenti dari pengelanaan tanpa ujung. Pada akhirnya kamu sadar, bukan bumi yang ingin  terus-menerus kamu ladeni, melainkan hasratmu sendiri. Bumi akan habis, tapi hasratmu tidak. Kamu ingin berhenti dari meladeni hasratmu sendiri. Kamu ingin berhenti, dan mulai peduli pada yang bukan hasratmu. Peduli pada hal-hal kecil di sekitarmu.

Itulah alasanmu berhenti

Membaca beberapa paragaf ini, memantik pergolakan di batin saya. Ini terkait passion/hasrat.  Akankah kita terus menerus mengejar hasrat yang tak akan pernah habis dengan mengorbankan waktu bersama orang terkasih ataukah berhenti belajar untuk meredam keingintahuan yang tak berujung dan berdamai dengan diri. Menurut saya, seseorang yang memasuki kategori kedua sungguhlah seseorang yang berhati besar dan merasa sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Sungguh, akan ada hal yang dikorbankan bagi mereka para pengejar hasrat. Menjadi pengelana, jauh dari keluarga, adalah konsekuensi yang mereka ambil. Bahkan saya bisa membaca seberapa menyesalnya Agustinus Wibowo, travel writer favorit saya, dalam “Titik nol” karena tak dapat menemani masa-masa akhir saat ibunya akan meninggal atau kisah kakak tingkat teman saya yang tak bisa pulang ke Indonesia untuk menggali makam ibunya karena harus belajar di US. Baik halnya dengan Bayu, maupun mereka. Hal yang paling mereka takutkan adalah tidak begitu merasa sedih dan kehilangan atas kematian kerabat. Ketakutan akan kehilangan rasa manusiamu. Dan dalam kisah ini, Bayu sudah menemukan titik balik di hidupnya.

———

Jujur. Bagi saya, sang Pemimpi gila, hasrat adalah sesuatu yang penting. Pemantik niat untuk mengejar mimpi. Apa gunanya bermimpi jika tidak dikejar? Bukankan hasrat meraihnya adalah bahan bakarnya?. Bukankah tuhan menceritakan hasrat sebagai salah satu pendorong untuk maju, untuk terus belajar, untuk terus berkarya. Dan, berkelana jauh dari kampung halaman menjadi jawaban para pengejar mimpi dengan mengorbankan perasaan, hidup kesepian jauh dari keluarga, menolak pulang kampung bertahun-tahun dan menahan rindu yang berbuncah-buncah.

Itu tentu saja berat,

mungkin suatu saat, saya akan melakukan hal sama seperti yang Bayu lakukan. Untuk berhenti sejenak.

Dan itu bukanlah saat ini. Mungkin nanti

Atau anggap saja, (untuk saat ini) saya belum selesai dengan diri saya sendiri.

NB:

Dan doakan saya dalam perjalanan ini, bisa menemukan gerimis.

Gerimis yang jatuh di atas kertas. Dimana kertasnya adalah saya.

5 thoughts on “Gerimis di atas kertas: ketika kita perlu untuk berhenti sejenak.

  1. Ikha says:

    Saya terharu membaca review ini. (Mengetuk untuk jiwa-jiwa yang belum selesai dengan dirinya sendiri, kayak saya.)

    Turut mendoakan untuk Mbak Era. Semoga dalam perjalanan ini menemukan gerimis yang meneduhkan. 🙂

  2. kutukamus says:

    Konon, selama hayat dikandung badan, berarti ada yang belum selesai dengan diri. Mungkin itu kenapa orang bilang ‘hidup itu pilihan’—karena memang tidak semua bisa kita raih. Konon. 🙂

    Semoga ketemu gerimisnya. 🍸

    • Humairah says:

      Terima kasih atas komentar yang menenangkan :).
      “Hidup itu pilihan” noted kak 🙂

      DOa yang sama untukmu. Selamat menunggu gerimisnya masing-maisng 🙂

Leave a comment